Sabtu, 04 Desember 2010

Permata van Klawing

Baru mulai diteliti. Masyarakat setempat selama ini "mengobralnya" Rp 20 ribu per karung.
PURBALINGGA - Meski ada yang terpeleset dan harus jatuh-bangun, tim terdiri atas 12 orang dari Departemen Geologi Institut Teknologi Bandung dan Kelompok Riset Cekungan Bandung tekun meniti bebatuan di tebing Sungai Klawing, Desa Dagan, Bobotsario, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu lalu. Wajah-wajah mereka semringah.

Sampai di tepi sungai, mereka langsung berbagi tugas. Beberapa mengeluarkan kamera dan mulai membidik. Sebagian tak sungkan terjun dan menenggelamkan diri ke sungai. Sisanya membuka peta dan membuat titik koordinat.

Jauh-jauh dari Bandung, mereka tidak ujug-ujug datang sekadar menikmati sungai bersih yang mengalir segar di kaki Gunung Slamet itu. Mereka meneliti tipologi batuan di sana. "Ini adalah survei awal pemetaan batuan di daerah aliran Sungai Klawing," kata Antonius Tjipto Rahardjo dari Departemen Geologi ITB.
Tidak cuma menceburkan diri ke sungai, Antonius dan kawan-kawannya juga menyelisik ke persawahan di sekitarnya. Satu di antara batu yang mereka cari dan identifikasi adalah Le Sang Du Christ, batu mulia jenis jasper ini memiliki corak warna bercak darah mirip yang diyakini sebagai darah (Yesus) Kristus.


Sujatmiko adalah yang pertama meneliti batuan mulia di sungai yang alirannya bermuara ke Sungai Serayu itu. Dosen tamu di Departemen Geologi ITB dari Universitas Soedirman, Purwokerto, ini pula yang pada Januari lalu menemukan batu panca warna.

Jenis batuan kalsedon hijau ini jauh lebih mulia lagi ketimbang jasper karena polesannya yang sekualitas cermin dan bisa ditembus cahaya. Jika batu itu dipecah, akan tampak bercak-bercak seperti tetesan atau cipratan darah. Lebih ke dalam lagi, bercak-bercak itu menyatu bagai awan kumulus dengan corak memikat dan warna beragam, antara lain cokelat, kuning, merah, hijau, biru, dan putih.

Mengaku sudah 17 tahun mendengar ada batu mulia di Klawing, Sujatmiko baru menelitinya secara langsung sejak Januari lalu (dan langsung menemukan panca warna). "Awalnya saya tidak percaya ada batu jasper darah Kristus di sini," katanya.

Informasi awal keberadaan batu itu didapat dari turis Prancis yang mendatanginya. "Ia mencari batu berwarna hijau dengan bercak merah yang dia sebut heliotrope," kata Sujatmiko.

Dari cerita si turis, batu tersebut akan dipakai untuk bahan batu cincin dengan ukiran cap kebangsawanan di atasnya. Ayahnya pernah mendapatkan batu tersebut di Jakarta seusai Perang Dunia II dan kini keturunannya menginginkan cincin sejenis. "Waktu itu saya tak punya batu yang dicari," kata Sujatmiko.

Le Sang Du Christ atau batu darah Kristus juga disebut heliotrope karena sejarah memang pernah mencatat kegunaannya sebagai alat untuk mengamati gerakan matahari. Heliotrope diambil dari bahasa Yunani, helios berarti matahari dan tropos sama dengan berputar.

Tapi warga setempat di Purbalingga lebih mengenalnya sebagai batu nogo suwi. Ada kepercayaan, mereka yang memakai batu ini memiliki kekuatan magis karena batu disebutkan bisa menstimulasi kekuatan fisik, ketabahan, dan keseimbangan.

Corak batuan jasper sebenarnya sangat beragam. Selain dihiasi bercak-bercak merah, ada yang berlapis merah yang sangat kontras, hijau terang, cokelat, kuning, kelabu, dan hitam. Yang paling umum adalah hijau dan merah darah itu.

Secara ilmiah, Tjipto menjelaskan, warna-warna hijau dan merah itu berasal dari ekspresi oksida besi yang terkandung dalam batu. "Jenis batuan ini terbentuk pada zaman miosen atas, sekitar 5-10 juta tahun yang lalu," sang geolog menjelaskan.

Sujatmiko menegaskan bahwa jasper, dan karenanya batu darah Kristus atau heliotrope atau nogo suwi atau apa pun namanya, tergolong batu berkualitas tinggi di jagat batu mulia. Mineral silika yang tak tembus cahaya namun permukaan pecahannya sangat halus ini sudah sejak ribuan tahun lalu digunakan sebagai ornamen maupun batu permata.

Tingkat kekerasannya menjulang mencapai 7-7,5 dalam skala mohs. Sebagai pembanding, intan sebagai batu mulia paling mahal mempunyai kekerasan 10 dalam skala yang sama.
Sayang, meskipun bernilai tinggi, masyarakat sekitar selama ini "mengobral" sekarung batu darah Kristus seharga Rp 20 ribu. "Padahal, kalau sudah jadi cincin atau perhiasan lainnya, harganya tidak bisa ditawar lebih rendah dari Rp 100 ribu," kata Sujatmiko.  WURAGIL | ARIS ANDRIANTO (PURBALINGGA) 

Sumber : Koran Tempo. 

1 komentar:

  1. Pernah punya batu jenis ini, karena pengetahuan ttg batu mulia saya masih minim jadi saya kira hanya batu akik biasa.. Ingin punya lagi sekarang tapi belum pernah berjodoh

    BalasHapus